We listen, we don’t judge
Tren saat ini yang sangat digandrungi oleh khalayak umum, ‘we listen we don’t judge’. Tren ini akhirnya malah membuka lembaran masa lalu ketika awal kenal diriku dengan setiap orang. Tren yang akhirnya menyadari betapa banyaknya hal dalam hidup ini yang berubah. Tren ini muncul mungkin karena kita ingin seseorang mengatakan hal kurang baik tentang diri kita tanpa mereka merasa offensive.
Hari ini tanpa sengaja bergabung dengan teman sebaya, senior, bahkan dosen di prodiku. Kami mencoba melakukan tren ini, dengan aku sebagai objeknya. Wafiyah, ismail, dan wafi, ketiga teman sebayaku yang sepertinya mempunyai persepsi yang sama tentangku di awal kami berkenalan. Mereka mengatakan bahwa aku adalah orang yang sok asik, orang pertama yang mengirim teks kepada mereka secara personal dan menawarkan untuk bergabung di grup angkatan tanpa senior himpunan. Mereka juga beranggapan aku orang aneh karena cara bicaraku yang berbeda pada saat itu.
Sudut pandang lain, kak cica, seniorku di prodi, beliau menjabarkan betapa dia mengira aku orangnya sangat tidak asik dan membosankan. Mungkin dia berpikir seperti itu karena aku jarang menanggapi ucapan dan juga gurauannya. Aku sepertinya memang setertutup itu kepada outsider. Mungkin itu juga karena dimataku beliau memang adalah salah satu manusia yang patut dihindari karena pertemuan pertemuan awal kami, kak cica adalah sosok yang sepertinya bagian dari perpeloncoan pada angkatanku.
Mam pahmi, selaku kajurku sayangnya mengatakan hal yang sangat mirip tentangku. Aku, dimatanya adalah seseorang yang memang terlahir dan berkembang sebagai orang yang kaku dan jarang tersenyum. Orang yang terlihat tidak tertarik pada apapun, termasuk mata kuliahnya. Saat ini, ternyata aku sudah sampai ditahap menjadi asisten beliau yang bahkan mengingat jadwal dan juga kebiasaannya itu. Aku yang pada akhirnya mengetahui segala hal milik barang beliau, mengingat plat mobil beliau, bahkan jadi mengetahui menantu beliau bernama ‘nana’ seperti dengan namaku.
Mam iin, dosen favoritku yang menjadi dosen pembimbing kedua skripsiku. Beliau adalah dosen mata kuliah listening di semester 3. Sejak saat itu beliau menjadi dosen favoritku, bahkan aku sampai membuat judul penelitian berkaitan dengan listening. Nyatanya, beliau mengira aku sangat acuh tak acuh di mata kuliahnya, jarang tersenyum, membatasi interaksi, hingga sangat sopan dan disiplin. Sepertinya sampai saat ini beliau tidak tahu bahwa beliau adalah dosen favoritku. Beliau bahkan bercerita dengan suaminya tentang menemui mahasiswa aneh sepertiku. Bukan suatu kebanggan sebenarnya, karena tentu bukan hal yang mudah juga menghadapi orang orang yang membatasi diri. They must be frustrated about it.
At the end, sepertinya character development itu nyata. Diri ini akhrnya lebih terbuka, lebih banyak mencoba, lebih banyak berinteraksi, lebih banyak mengambil resiko.
Terimakasih sudah berusaha untuk
memperbaiki diri ya…. Kamu keren sudah ditahap ini…
Comments
Post a Comment