Parallel Storyline: Part 3
Aku gak nyangka keadaan akan separah ini, hubungan ini akan serumit ini. Hubungan ini rasanya ga baik baik aja saat kami membicarakan hal itu di telepon.
Beberapa
hari lalu aku menelfonnya, kekasih hatiku selama hampir 2 tahun, seseorang yang
sering aku panggil dengan ‘abang’. Dari lama aku sudah ada rencana untuk
membuat pengakuan bahwa aku merasa sangat bersalah karena dekat dengan seorang
pria lain, seorang penasehat politikku. Pria lain ini sebenarnya adalah orang
lama yang pernah kami temui bersama untuk urusan politik. Sampai sekarangpun
aku yakin abang pasti memahami hal ini. Namun, lagi lagi aku rasa aku perlu
membicarakan hal ini. Alasan lain karena aku merasa orang orang malah mengira
aku memiliki hubungan serius dangan pria itu. Aku hanya sedang menjaga
perasaannya, walaupun selama ini ia tak pernah mempermasalahkannya.
Dari
dulu abang adalah sosok orang yang santai, yang lebih tenang menghadapi masalah
dibandingkan aku. Namun sepertinya karena hal itulah aku jadi menggampangkan
perasaannya. Aku lupa banyak hal dan menelantarkan eksistensinya dalam hidupku
selama setahun kemarin. Tahun kemarin dimana aku menjadi ketua lembaga buatku
jadi banyak melupakan banyak hal tentangnya. Aku lupa bahwa aku harus tetap
menjaga komunikasiku dengannya.
“aku
sebenarnya ngerasa aneh sekarang, setelah setahun kemarin kita berdua menjaga
jarak karena urusanmu, sekarang kamu malah balik lagi kek gini” kalimat dia ini
buatku meringis. Aku baru menyadari ternyata efeknya akan sedahsyat ini.
“aku
minta maaf, aku terlalu menggampangkan suatu hal” aku diriku. Aku lupa bahwa
sesantai apapun dia, harusnya aku tetap peduli dengan keberlangsungan hubungan
kita. Karena bahkan di beberapa keadaan kami bertemu karena satu kegiatan, bukan karena janjian.
“kamu
tau ga, kamu minta maaf sekarang tuh aneh buatku” pernyataan dia ini benar
benar memukul mundur dirku. Apa aku benar benar salah ambil langkah selama ini.
Selama setahun kemarin awalnya aku terlalu fokus dengan lembaga, dia juga fokus
dengan lembaganya, tapi aku memang sadar dia bukan prioritasku pada saat itu.
Aku bukan hanya menelantarkan posisinya, tapi juga menelantarkan perasaanku
ini.
“setahun
kita ga gimana gimana, terus tiba tiba tahun ini kek gini” kalimatnya ini
mengingatku dengan momentum aku mencalonkan diri sebagai ketua lembaga. Saat
aku bicara tentang niatku, namun pada saat itu abang mengatakan dengan tegas
bahwa hubungan kita akan tidak baik baik saja. Aku akan terpenjara dengan
lembaga, karena lembaga akan menjadi hidupku, tempatku mengabdikan diri.
Walauupun begitu sebenarnya dia menyerahkan keputusan kepadaku.
Pada
akhirnya, aku mencalonkan diri menjadi ketua lembaga bahkan tanpa dia tahu.
Abang malah tau dari orang lain. Damn,
dia kecewa dengan keputusanku yang seperti tidak mempercayainya. Sejujurnya
alasan kenapa aku tidak membicarakan hal ini dengannya karena aku hanya bimbang
dengan keputusanku. Lagi lagi minta maaf adalah hal yang bisa aku lakukan.
Setelah
aku kilas balik, ternyata dugaannya benar. Mungkin karena dia bisa membaca
karakterku selama ini. Bagaimana resahku dengan sistem di lembaga dan membuatku
berani mencalonkan diri.
Aku
pun bertanya “aku sibuk ya sama duniaku?”
“bukan
salah siapa siapa, karena saat kamu sibukpun aku jadi menyibukkan diri dengan
teman temanku, kerasa banget kita ada gaptuh sebenarnya saat aku demisioner”
“……….”
“atau
cuma aku yang ngerasa begini?” lanjutnya. Ah, aku juga menyelepekan karena ku
kira abang akan sangat sibuk dengan lembaganya, karena ia pengurus inti juga
disana. Dia demisioner beberapa bulan sebelum diriku demisioner. Mungkin momen
ini yang buat dia sadar ada yang salah dengan hubungan kami berdua.
“dulu
saat kamu menjabat di organisasi yang lain, aku ga punya kekhawatiran apa apa. Kita
masih bisa ketemu dan jalan. Saat kamu menjabat jadi ketua lembaga, kerasa
banget gapnya”
“…….”
“dulu
ngajak kamu jalan, nongkrong, belajar bareng tuh gampang banget. Kamu gas gas
aja kalau aku ngajak. Sejak kamu jadi ketua lembaga tuh kita ga pernah jalan
yang proper tau ga? Kita bahkan ketemu karena agenda kita beririsan, bukan
karena kita janjian”
Curhatannya
ini buatku semakin termenung, merasa melewatkan banyak hal, dan menyakiti perasaan
Abang.
“kamu
tau ga? Setiap kali aku mau nelfon kamu didepan ananak lain, mereka selalu
ngerasa aku ga sopan sama kamu. Kamu ketua lembaga dan aku cuma junior kamu”
Damn,
aku ga sadar bagian ini. hubungan kami yang tidak diketahui oleh banyak orang,
yang akhirnya membuatnya tertekan.
“kenapa
gitu?” tanyaku
“karena
setiap kali kamu slow respon buat balesin chat ananak lain, aku punya inisiatif
buat telefon kamu, tapi ketika aku mau nelefon kamu, perkataan mereka buatku
ciut”
Ah,
aku lupa bagian ini, bagian dimana dia adalah juniorku. Pujaan hatiku ialah
juniorku di kampus. Kisah yang bermula dari membantunya dalam suatu program,
yang berakhir jatuh hati. Kisah yang bermula dari seorang senior yang mentoring
juniornya. Kisah ini seperti kisah klasik sebuah film dimana junior dan senior
punya hubungan istimewa, dan kini akulah yang menjadi peran utamanya.
“aku
jadi ngerasa kecil, aku jadi ngerasa insecure, aku bukan siapa siapa ini nelefon
pimpinannya tanpa ngechat dulu. Kamu tau ga rasanya? Rasanya kek aku ga bisa
kek dulu lagi, rasanya kayak aku ga pantas buat kamu”
Aku
selalu ngerasa opini orang itu ga penting, yang penting itu gimana perilaku ku
terhadapnya. Aku bahkan memanggilnya dengan ‘abang’ bukan karena alasan remeh. Aku
memanggilnya seperti itu karena aku ingin membuat dia lupa akan gap yang muncul
karena hirarki senior dan junior itu. Aku berusaha menghormatinya dengan
manggil dia dengan sebutan ‘abang’. Ternyata, semua itu masih kurang cukup. Komunikasi
antara aku dan abang ternyata tidak baik baik saja tahun lalu.
“tapi
kamu yang membatasi diri, aku ga pernah ngerasa kamu kecil” ucapku
“ahahaha,
iya kamu benar, karena orang orang sekeliling, aku juga jadi nganggep harus
hormatin kamu juga. Aku minta maaf karena nganggep kamu senior juga”
“iya,
sama sama belajar”
“dulu
aku sampe bertanya tanya, kita tuh sebenarnya punya hubungan apa sih? Kok kayak
ada tanda tanda bakal asing. Bahkan temenku nanya tentang kita, tapi ku jawab ‘gak
tau’ saking desperatenya aku di hubungan ini”
“sumpah,
di kepala aku ga pernah ada pikiran buat asing sama kamu, malah ini momentum
yang aku nantikan, saat kita bisa kembali ke aktifitas kita dulu.”
Asing,
bahkan itu ga ada di kamusku. Gimana bisa asing kalau kamu masih berkeliaran di
kepalaku. Gimana bisa, bang?
“iya,
kan aku cerita perasaanku”
“terima
kasih ya, abang. Terima kasih udah mau cerita dan terbuka, it means a lot. Ga tau
deh gimana kalau misalnya kamu pendam dan tiba tiba minta udahan”
“ahahaha,
ya enggak gitu juga. Kalau untuk bersama itu keputusan bersama, ya tentu untuk
berpisah juga atas kesepakatan bersama, gak bisa sepihak”
“ciahhhh,
bisa ae bang”
“wkwkwkw”
“anyway
kamu sekarang my number one priority loh, asik kan?” tanya ku
“aku
ga percaya deh, paling aku harus ajukan surat izin atau proposal dulu ke kamu”
“AHAHAHAH”
tawa ku
“lagian,
kamu tuh sibuk banget, aku harus masukkan surat izin kali ya biar bisa jalan sama
kamu, atau proposal sekalian biar bisa diterima, atau undangan sekalian lah”
Aduh,
dia kepikiran dari mana sih, lucu banget jadinya.
“ga
gitu juga, ntar aku yang ajak deh kalau gitu”
“iya
iya, ditunggu ya ibu”
Comments
Post a Comment